Selasa, 18 Desember 2007

Selasa, 13 November 2007

RESENSI BUKU

Judul Buku :
EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN
Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan

Pengarang :
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto
Cepi Safruddin Abdul Jabar

Penerbit :
Bumi Aksara

ISBN : 979-526-956-9
Cetakan : Pertama
Jenis Kertas : HVS
Jumlah Halaman : 150 Halaman
Tahun Terbit : 2004

Buku evaluasi program pendidikan ini hadir ditengah minimnnya literatur yang menjelaskan tentang evaluasi program pendidikan di Indonesia. Dalam karyanya ini Prof. Dr. suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar menjabarkan secara jelas dan menarik dengan bahasa yang mudah dipahami tentang evaluasi program pendidikan, sehingga buku ini sangat cocok dan menarik untuk dibaca khususnya guru, praktisi, pemerhati dan ahli pendidikan.

Pembahasan dalam buku ini meliputi beberapa bab pembahasan yaitu :
  1. Konsep Evaluasi Program pendidikan dimana penulis hendak menyampaikan hakikat dari suatu evaluasi program pendidikan yaitu proses untuk menilai keberhasilan suatu program yang selanjutnya akan dievaluasi dan diambil keputusan selanjutnya.
  2. Model dan rancangan evaluasi program
  3. Perencanaan evaluasi program
  4. Pelaksanaan evaluasi program
  5. Analisis data dalam evaluasi program pendidikan
  6. Menyusun laporan evaluasi
  7. Tata tulis laporan evaluasi
Dalam buku ini penulis sebenarnya penulis ingin menyampaikan betapa pentingnya suatu evaluasi dalam program pendidikan dengan gaya bahasa yang singkat padat dan mudah dipahami. Selain itu dalam buku ini pun dilengkapi dengan gambar dan contoh-contoh yang dapat mendukung dalam menjelaskan evaluasi program pendidikan di sekolah maupun lembaga-lemabaga lainnya.

Oleh karena itu bagi seorang evaluator khususnya dan pembaca pada umumnya, buku ini harus menjadi rujukan wajib yang harus dimiliki dan tentunya pada akhirnya para pembaca dapat memahami secara komprehensif tentang evaluasi program pembelajaran.

Demikianlah resensi buku ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Senin, 05 November 2007

Syarat dan macam Evaluator

Syarat dan Macam Evaluator


Syarat Seorang Evaluator

  1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori akademik dan keterampilan praktik (pengalaman)
  2. Cermat, yaitu dapat melihat celah-celah secara detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan fakta yang sebenarnya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan saebagaimana diatur ketentuan yang harus diikuti.
  4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrumen, mengumpulkan data dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
  5. Hati-hati dan bertanggung jawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.
  6. Mempunyai visi dan misi dan program yang jelas
  7. Jujur dan amanah, maksudnya adalah seorang evaluator harus menyampaikan laporan hasil evaluasinya sesuai dengan kenyataan di lapangan dan tugas yang diembannya. seorang evaluator harus mempunyai kode etik dalam bertugas.
Perbedaan Evaluator Internal dan Eksternal.
  • Evaluator Internal adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program evaluasi. Evaluator internal lebih memahami betul tentang program yang akan dievaluasi dan tepat pada sasaran.
  • Evaluasi Eksternal adalah petugas evaluasi program yang berasal dari orang-orang luar dan tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Biasanya bersifat independent. Evaluator eksternal lebih membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengevaluasi suatu program dan cenderung kurang tepat sasaran, karena memang mereka bukan berlatar belakang dari orang-orang evaluasi program.

Referensi :

Prof. Dr. Suharsimi arikunto & Cepi Safruddin Abdul Jabar Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan. Bumi Aksara 2004/
Akses Internet

Selasa, 30 Oktober 2007

konsorsium stanford

Betapa sulitnya mencari evaluasi dalam konsorsium stanford tapi pada menemukan salah satu teknik evaluasi yang banyak diterapkan di barat yaitu tes IQ
Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan pola asuh, hubungan anak dan orangtua, kebiasaan belajar, dan faktor lingkungan lainnya.

Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan intelegensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.
Menurut Indri Savitri, S. Psi, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat LPT UI, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan wujud dari proses berpikir rasional itu. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan.

Skor bukan harga mati
Howard Gardner, psikolog pendidikan asal Amerika yang terkenal dengan teori kecerdasan gandanya menyatakan, kecerdasan intelektual hanyalah salah satu dari 8 kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan ganda yang dimaksud Gardner adalah kecerdasan di bidang bahasa, berpikir logis atau matematis, musik, visual, dan gerak. “Sayangnya, alat ukur untuk kecerdasan ganda itu masih dikembangkan Gardner. Perlu waktu lama untuk bisa menerapkannya di negara yang berbeda kultur seperti Indonesia,” tutur Indri.

Awalnya, tes IQ diterapkan di masyarakat Barat karena adanya kebutuhan untuk seleksi. Anak-anak dengan kemampuan rata-rata, di bawah, dan di atas rata-rata, memerlukan penanganan yang berbeda. Tapi sekarang di sana skor IQ sudah tidak lagi dipakai karena mulai dikembangkan pendekatan-pendekatan lain yang melihat faktor kecerdasan secara menyeluruh.

Sayangnya, di Indonesia banyak lembaga pendidikan yang mewajibkan calon siswanya untuk tes IQ terlebih dahulu sebagai salah satu syarat penerimaan siswa baru. Ada sekolah yang menetapkan syarat penerimaan tes IQ minimal 120 skala Weschler. “ Bahkan, ada anak yang disarankan untuk sekolah di SLB karena skornya di bawah rata-rata, tanpa ada tahapan melihat latar belakang anak terlebih dahulu,” kata ibu satu anak ini menyayangkan.

Situasi saat tes
Menurut Indri, setidaknya tiga faktor yang berhubungan dengan tes IQ. Pertama, reliabilitas atau sejauh mana hasil tes itu dapat dipercaya. Skor IQ yang diperoleh akan sama walaupun seorang anak melakukannya pada kondisi yang berbeda. Kedua, validitas atau sejauh mana alat ini mampu mengukur apa yang hendak diukur. Jika tes itu mengukur kemampuan berbahasa, maka yang diukur adalah kemampuan anak dalam mengeluarkan pendapat, bukan mengukur kepercayaan diri. Ketiga, standarisasi, yaitu apakah alat yang dipakai sesuai dengan norma masyarakat setempat. Tiap masyarakat tentu mempunya norma berbeda satu sama lain.

Menurut Indri, saat ini banyak dilakukan tes psikologi secara massal, misalnya dalam satu ruang kelas. Padahal, tes yang dilakukan secara massal itu bisa menimbulkan banyak kemungkinan. Sehingga, seorang anak yang skor IQnya 140 belum tentu memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sebaliknya, anak dengan skor IQ 85 tidak berarti harus masuk SLB. Orangtua perlu kritis melihat skor tersebut.

Beda alat, beda yang diukur
Tes IQ yang sering dipakai di Indonesia adalah tes Binet dan Wecshler. Kedua tes ini sebenarnya merupakan alat yang sudah dikembangkan sejak lama. Psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, mulai merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (kemampuan di bawah rata-rata). Alat itu dinamakan tes Binet-Simon yang kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Ia menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terlalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Berdasarkan teori tersebut, dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsler, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.

Faktor genetik dan keturunan
Keturunan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tes IQ. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga adalah sekitar 0,5. Pada anak kembar, korelasinya sangat tinggi, yaitu 0,9. Sedangkan pada anak adopsi, sekitar 0,4-0,5 dengan orangtua kandung, dan 0,1-0,2 dengan orangtua angkatnya. IQ anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap berkorelasi sangat tinggi.

Intelegensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak ini sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Karenanya, faktor lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti.

Oleh karena itu, Indri menegaskan tentang pentingnya kejelasan tujuan dilakukannya tes IQ. Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar orangtua dan guru dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.

Berdasarkan pengalaman di klinik, Indri banyak menemukan kasus anak yang memiliki skor IQ bagus, tapi prestasi akademisnya rendah. Atau anak dengan skor IQ biasa saja, tapi cukup populer di sekolah karena memiliki rasa percaya diri untuk mengembangkan potensinya.

Sebagai sebuah alat ukur kecerdasan, tes IQ memang satu-satunya alat yang dapat dipakai sampai saat ini. Namun, untuk kepentingan pengoptimalan potensi anak, Indri lebih suka dengan istilah “evaluasi psikologis”. Karena dengan evaluasi psikologis, orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. Misalnya, anak yang kurang pemahaman bahasanya perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.

Untuk evaluasi psikologis, tidak hanya tes IQ yang dibutuhkan. Tes IQ tanpa wawancara sebenarnya tidak bisa berbicara. Karena skor tersebut berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungannya.

Senin, 01 Oktober 2007

Macam Macam Validitas

I. Pengertian Validitas (Validity)

Secara bahasa konsep validitas adalah kesahihan; kebenaran yang diperkuat oleh bukti atau data yang sesuai. secara istilah definisi validitas antara lain :
a. Kesesuaian antara definisi operasional dengan konsep yang mau diukur
b. Gay (1983:110) the most simplistic definition of validity is that it is the degree to which a test measured what it is supposed to measured.
c. Validitas dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam mem­beri­kan inter­pretasi terhadap hasil pengukurannya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa sebenarnya validitas adalah suatu proses untuk mengukur dan menggambarkan objek atau keadaan suatu aspek se­suai de­ngan fakta. Dalam konsep validitas setidaknya terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu relevans” dan accuracy. Relevansi menunjuk pada kemampuan instrumen untuk memerankan fungsi untuk apa instrumen tersebut dimaksudkan (what it is intended to measure). Accuracy menunjuk ketepatan instrumen untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang diukur secara tepat, yang berarti dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Kedudukan validitas sangat penting dalam suatu kegiatan termasuk dalam evaluasi pembelajaran karena menyangkut hasil pembelajaran dilandasi dan di­dukung oleh fakta-fakta yang representatif. apabila tidak ada validitas maka suatu proses maupun hasil pembelajaran tidak akan berjalan objektif melainkan subjektif hal ini tentu akan merugikan semua pihak terutama siswa.

II. Macam Macam Validitas (Validity)
Setelah meneliti tentang definisi validitas, menurut para ahli setidaknya ada empat macam validitas, yaitu :
a. Face Validity
Secara bahasa Face Validity dapat diartikan dengan kesahihan/kebenaran yang tampak. namun yang dimaksud di sini face validitas adalah pertimbangan subjektif mengenai validitas berdasarkan yang terlihat/tampak. Face validity digunakan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pembelajaran dapat menggambarkan konsep yang ingin diukur. secara pribadi saya mengalami kesulitan dalam memahami konsep ini, mungkin hal ini terkait dengan keterbatasan yang saya miliki.
b. Validitas konstruk (construct validity)
Validitas konstruk berhubungan dengan per­tanya­an: seberapa jauh instrumen yang kita susun mam­­pu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun dengan mendasarkan diri pada per­timbangan-pertimbangan rasional dan konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan. validitas konstruk menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain yang secara teoritis menggambarkan konsep yang diukur. Contoh: apakah skor depresi yang dikembangkan dapat membedakan orang depresi dengan orang tidak depresi.
c. Validitas Isi (conten Validity)

Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan atau melukiskan se­cara tepat mengenai domain perilaku yang akan di­ukur. Misalnya instrumen yang dibuat untuk meng­ukur aktivitas siswa dalam belajar, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan secara benar mengenai aktivitas siswa sebagaimana diuraikan dalam deskripsi kegitan siswa dalam belajar. Contoh lain lagi misalnya instrumen yang disiapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan de­ngan benar prestasi belajar siswa sesuai dengan stan­dar prestasi sesuai dengan materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Kalau pada instrumen kinerja pe­neliti melakukan analisis kinerja sebagai­mana yang ditetapkan dalam deskripsi tugas (job description), maka pada instrumen untuk mengukur prestasi belajar, kita harus melakukan analisis ma­teri pelajaran, mulai dari pembagian bab per bab, sam­pai pada uraian setiap pokok bahasan.
d.
Validitas kriterion (kriterion-related validity).
yaitu validitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu pengukuran sebagai indikator dari suatu tingkah laku atau sifat yang spesifik. Hal yang penting adalah keakuratan indikator. Criterion validity dinilai dengan membandingkan hasil satu pengukuran dengan pengukuran menurut gold standard, Contoh: intensi nyontek.



Selasa, 18 September 2007

PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Islam merupakan agama yang bersifat universal, artinya bersifat menyeluruh dan mengajarkan kebajikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal pengambilan keputusan. Biasanya pengambilan keputusan dilakukan oleh seorang pemimpin atau individu yang dipercaya oleh masyarakat, namun demikian pengambilan keputusan dalam setiap persoalan termasuk di dalamnya persoalan pendidikan ternyata tidaklah semudah yang kita bayangkan, melainkan memerlukan analisis yang mendalam, karena apabila tidak dianalisis dapat berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat.
Dalam hal pengambilan keputusan, tentu masing-masing dari kita memiliki pertanyaan yang mendasar yakni bagaimana pengambilan keputusan dalam perspektif Islam? Apakah ada prinsip-prinsip yang mengatur hal tersebut?. Oleh karena itu dalam tulisan ini saya akan mencoba menjelaskan tentang pengambilan keputusan dan prinsip-prinsipnya dalam perspektif Islam

A.Pengambilan Keputusan
Dalam Islam dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses pilihan yang diambil oleh seorang pemimpin dari berbagai alternatif untuk memecahkan permaslahan yang berdasarkan nilai-nilai Islami yaitu al-qur’an dan sunnah Rasul.
Berdasarkan pemahaman tersebut dapat kita pahami bahwa menurut Islam yang menjadi barometer dalam pengambilan keputusan adalah nilai-nilai Islam yakni al-qur’an dan sunnah rasulullah. Apabila ada hal-hal yang dianggap melanggar Islam maka dapat dikatakan bahwa keputusan tersebut kurang baik. Hal bukan berarti bukan berarti Islam sangat ekslusif dan tertutup terhadap hal-hal yang bukan berasal dari Islam, harus kita pahami bahwa Islam sangat menjujung tinggi nilai-nilai yang dapat menunjang kehidupan manusia sendiri, seperti demokrasi, hak asasi manusia dan sebagainya.

B.Prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam perspektif Islam
Sebagimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal, maka dalam pengambilan keputusan ada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mengatur hal tersebut. Hal ini diperlukan agar pengambilan keputusan tersebut dilaksanakan dengan baik dan tidak merugikan masyarakat banyak.

Prinsip-prinsip tersebut antara lain :

1. Adil
Prinsip yang pertama dan paling utama dalam pengambilan keputusan adalah adil. Secara istilah adil dapat diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak dan seimbang. Prinsip keadilan sangat penting karena dengan keadilan keputusan yang diambil tidak merugikan oerang lain. Dalam Islam sifat adil sangat dibutuhkan oleh seorang pemimpin karena melalui sifat adil seorang pemimpin akan dihormati dan dimuliakan oleh Allah. Allah telah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Maidah yang artinya “Hai orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil”. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalam ayat di atas, sangat jelas bahwa Allah swt memerintahkan segenap manusia untuk berbuat adil dalam setiap hal. Hal itu pula yang menjadikan Islam dalam semua syariatnya menjunjung tinggi prinsip keadilan. Begitu pentingnya sifat adil bagi pemimpin, Ibn Taymiyah punya pendapat yang agak ekstrem. Menurutnya, pemimpin yang adil meskipun kafir lebih baik daripada pemimpin Muslim tetapi tidak adil. Alasannya cukup rasional, kekafirannya hanya memberikan mudarat kepada dirinya, sedangkan keadilannya bermanfaat kepada orang lain/rakyat. Sedangkan pemimpin Muslim yang tidak adil, keislamannya hanya bermanfaat untuk dirinya, sedangkan ketidakadilannya memberi mudarat kepada orang lain/rakyat.

2.Amanah
Prinsip selanjutnya adalah amanah bertanggung jawab Pengertian amanah, sebagaimana dirumuskan dalam beberapa kitab kuning, adalah "syu'urul mar'i bi tabi'atihi fi kulli amrin yukalu ilaihi". Artinya, rasa tanggung jawab seseorang akibat dari segala sesuatu yang diserahkan kepadanya. Amanah dapat diartikan pula terpercaya. Melalui amanah maka dalam pengambilan keputusan akan memiliki dampak psikologis bahwa keputsan tersebut merupakan keputusan yang harus dilaksanakan dan akan dipertanggung jawabkan dikemudian hari. Sifat amanah sangat diperlukan karena menyangkut hajat hidup manusia sehari-hari, baik dalam urusan pribadi, maupun urusan bersama. Setiap pemimpin yang mendapat amanah dari manusia untuk menjalankan kepemimpinan ini dibebani amanah untuk mengurus, mengatur, memelihara dan melaksanakan kewajiban itu secara baik dan benar. Firman Allah SWT, Q.S. Al-Anfaal 27-28 menyatakan, "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui (akibatnya)." Allah SWT memuji orang yang kuat dan sanggup memikul amanat sebagai orang yang paling baik (Q.S. Al-Qashash:26).

3.Istiqomah
Dalam Islam Istiqomah berarti berpendirian teguh atas jalan yang lurus, berpegang pada akidah Islam dan melaksanakan syariat dengan teguh, tidak berubah dan berpaling walau dalam apa-apa keadaan sekalipun. Dalam pengambilan keputusan kita harus mempunyai keteguhan yang berdasarkan nili-nilai Islami artinya kita tidak mudah goyah dalam membela kebenaran yang sudah kita yakini dalam al-Quran sudah dijelsaskan tentang istiqomah yakni dalam surat Fusilat yang artinya : Katakanlah ( Wahai Muhammad ): “Sesungguhnya Aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepada Aku bahawa Tuhan kamu hanyalah Tuhan yang satu; maka hendaklah kamu teguh di atas jalan yang betul lurus (yang membawa kepada mencapai keredhaan-Nya)……”

4.Kejujuran
Dalam Islam kita dituntut untuk bersikap jujur dalam setiap perbuatan, termasuk dalam pengambilan keputusan. Karena melalui kejujuran akan mendekatkan kita kepada kebaikan. Rasulullah bersabda :
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a., dari Nabi Muhammad saw. bahwasanya beliau bersabda. “Sesungguhnya sidiq itu membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan menunjukkan pada surga. Dan seseorang beperilaku sidiq, hingga ia dikatakan sebagai seorang yang siddiq. Sementara kedustaan akan membawa pada keburukan, dan keburukan akan mengantarkan pada api neraka. Dan seseorang berperilaku dusta, hingga ia dikatakan sebagai pendusta.” (HR. Bukhari)
Hadits sederhana ini menggambarkan dua hakekat perbedaan yang begitu jauh. Pertama mengenai as-sidq (kejujuran & kebenaran iman), yang digambarkan Rasullah saw. sebagai pintu gerbang kebaikan yang akan mengantarkan seseorang ke surga. Sementara hakekat yang kedua adalah kedustaan (al-kadzb), yang merupakan pintu gerbang keburukan yang akan mengantarkan pelakunya ke dalam neraka. Sidiq merupakan hakekat kebaikan yang memiliki dimensi yang luas, karena mencakup segenap aspek keislamamn. Oleh karena itulah, dalam ayat lain, Allah memerintahkan kita untuk senantiasa bersama-sama orang yang sidiq: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (sidiq).” (At-Taubah: 119).
Demikianlah prinsip-prinsip pengambilan keputusan dalam Islam, sebenarnya masih banyak prinsip-prinsip yang lain yang belum dapat disampaikan, seperti, musyawarah, tablig dan sebagainya, namun saya belum bisa menyampaikan secara keseluruhan karena terbatasnya ruang pena di antara kita.

Zamzam Muhajir

marhaban ya ramadhan

duh senengnya bisa ketemu