Minggu, 20 Januari 2008

Tahun Baru Islam 1429 H

MAKNA TAHUN BARU HIJRIYAH 1429 H

I. PENDAHULUAN

Dutsur Ilahi

Allah berfirman, “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 100).

Tak terasa waktu telah begitu cepat berlalu, tahun berganti tahun, bulan silih berganti, jam beralih ke detik dan seterusnya akhirnya tibalah kita di tahun baru Islam 1429 H. Pergantian tahun menunjukan bahwa umur kita bertambah satu, tetapi kesempatan hidup kita di dunia berkurang pula satu tahun. Waktu laksana air yang mengalir ke hilir yang takkan pernah kembali ke hulu. Kadang ia membangkitkan semangat, namun kadang membuat orang terlena dan tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Pemisalan tersebut mengingatkan kita agar selalu menghormati dan menghargai waktu dengan melakukan berbagai aktivitas bermanfaat. Setiap kesempatan yang ditawarkan sang waktu, kita gunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia untuk bekal kehidupan di akhirat kelak. Jika tidak maka waktulah yang akan membunuh kita, sebuah pepatah Arab berkata "Waktu laksana pedang, jika tidak mampu memanfaatkan waktu, maka kamu akan terhunus olehnya".

Pergantian Tahun Baru Isam 1429 H hampir berdekatan dengan tahun baru masehi 2008, bahkan kemudian tahun baru imlek. Namun demikian masyarakat Indonesia memiliki respon yang berbeda terhadap pergantian tahun tersebut. Masyarakat lebih antusias menyambut tahun baru masehi dibandingkan dengan tahun baru Islam, mereka meniupkan terompet, pesta kembang api, gemuruh suara musik dan sebagainya. Inilah yang membedakan tahun baru Islam dan tahun baru masehi. Tahun baru Islam identik dengan muhasabah, berzikir, taubat dan sebagainya. Masyrakat kita (umat Islam) rasanya belum memahami betul makna tahun baru Islam. Oleh karena itu pada tulisan yang sederhana ini saya akan menjelaskan makna tahun baru Islam dengan menggunakan pendekatan Historis (perjuangan Islam).

Dalam tulisan ini saya akan menguraikan tentang definisi Hijrah, kaitannya dengan tahun baru Islam (hijriyah) dan maknanya, sehingga diharapkan kita mendapatkan pemahaman yang utuh dan pada akhirnya akan menumbuhkan semangat untuk melakukan perubahan.

II. PEMBAHASAN

1. Definisi Hijrah

a. Secara Etimologis

Secara etimologis (bahasa) kata hijrah berasal berasal dari akar kata hajara-yahjuru-hajran-wa-hajaranan. Arti asalnya: memutuskan, meninggalkan, dan berpisah. Al-hijrah identik dengan sebutan al-hujrah dan al-muhajarah, yang berarti pindah ke tempat atau negeri lain. Orang yang hijrah (pindah) disebut muhajir, kata jamaknya al-muhajirun/al-muhajirin. Tempat hijrah (yang baru) disebut al-mahjar, jamaknya al-mahajir. Sedangkan tempat lama yang ditinggalkan disebut al-mahjur, artinya tempat yang ditinggalkan (al-maturuk). Dalam kamus Al Mu’jam al Wasith menyebutkan : hajara berarti taraka min makan ila makan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam arti fisikal atau berarti i’tazala, memisahkan diri atau tabaa’ada, menjauhkan diri. Ia juga bisa berarti taraka wathanahu, dia meninggalkan tanah airnya. Mengenai makna ini, Al Qur-an menyatakan: “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka”. (Q.S. al Hasyar, 59:9). Ayat lain yang menunjuk arti perpindahan tempat juga disebutkan dalam Q.S. Al Ankabut, 29: 26 : “Maka Luth membenarkan kenabian Ibrahim. Dan dia (Ibrahim) berkata: “Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhan kepadaku”. Sementara al Raghib al Isfahani dalam Mufradat Alfazh al Qur-an menyatakan bahwa kata hajara berarti “mufaraqah al insan ghairahu imma bi al badan aw bi al lisan aw bi al qalb” (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan, atau hati). Ini menunjukkan bahwa hijrah memiliki makna yang lebih luas dari sekadar perpindahan fisik.

b. Secara Terminologis

Secara terminologis (istilah) para ahli berbeda pendapat dalam mendefinisikan istilah hijrah, hal ini dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang para ahli yang dipengaruhi oleh pemikiran, sejarah, kultur dan sebagainya. Definisi-definisi tersebut antara lain :

1. Al-Raghib Al Isfahani mengemukakan bahwa pengertian hijrah sebagaimana dipahami banyak orang dewasa ini adalah adalah keluar dari rumah atau wilayah kafir (dar al kufr) menuju rumah atau wilayah iman (dar al iman) seperti hijrah dari Makkah ke Madinah.

2. Para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai : keluar dari darul kufur menuju darul Islam. (An-Nabhani,Asy-Syakhsiyah al- Islamiyah.II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang aturannya diterapkan aturan Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya berada di tangan kaum muslim, sebaliknya Darul kufur adalah Wilayah (negara) yang aturannya bukan aturan Islam (kapitalisme-komunisme) dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim walaupun penduduknya mayoritas Muslim.

3. Umar bin al-Khaththab ra. Menyatakan : Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR.Ibn Hajar).

4. KH. Hussein Muhammad :hujran al syahawat wa al akhlaq al dzamimah wa al khathaya (meninggalkan keinginan-keinginan yang rendah, moralitas yang buruk, dan kekeliruan-kekeliruan) menuju kepada kehidupan yang lebih religius dan bermoral mulia.

5. Istilah Hijrah dalam terminologi al-Qur’an memiliki beberapa pengertian, dimana kata hijrah disebutkan dalam Al-Qur’an lebih 28 kali di dalam berbagai bentuk dan makna; ada dalam bentuk kata kerja untuk masa lampau yaitu sebanyak 12 kali, atau kata kerja untuk masa sekarang dan akan datang yaitu sebanyak 3 kali, atau dalam bentuk perintah sebanyak 6 kali, masdar (kata keterangan) yaitu sebanyak 1 kali, ataupun dalam bentuk subyek, yaitu sebanyak 6 kali, baik dalam bentuk singular 1 kali atau plural umum 4 kali atau khusus wanita 1 kali. Makna-makna tersebut antara lain :

ü Hijrah berarti mencela sesuatu yang benar karena takabur, seperti firman Allah, “Dengan menyombongkan diri terhadap Al-Qur’an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji” (Al-Mu’minun: 67).

ü Hijrah berarti pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain guna mencari keselamatan diri dan mempertahankan aqidah. Seperti firman Allah, “Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak”. (An-Nisa: 100).

ü Hijrah berarti pisah ranjang antara suami dan istri, seperti firman Allah, “Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” (An-Nisa: 34).

ü Hijrah berarti mengisolir diri, seperti ucapan ayahnya Nabi Ibrahim kepada beliau, “Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama”. (Maryam: 46)

Demikianlah pengertian Hijrah baik secara etimologis maupun terminologis. Dapat disimpulkan bahwa secara bahasa hijrah artinya pindah adapun secara terminologis hijrah memiliki makna yang sangat luas yang pada intinya adalah melakukan perubahan yang fundamental ke arah positif demi melanjutkan misi teologis, spritual dan moral yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.

2. Sejarah Hijrah dan Hubungannya dengan Tahun Hijriyah

Sebelum saya membahas tentang makna tahun baru Islam 1429 H, terlebih dahulu saya akan menjelaskan tentang sejarah hijrah, karena sejarah hijrah dan tahun hijriyah sangat erat kaitannya di mana penanggalan tahun Hijriyah dimulai ketika Nabi Muhammad Saw melakukan hijrah ke Madinah untuk melanjutkan perjuangan dakwah Islam.

Tanggal 1 Muharram dalam kalender kaum muslimin sedunia telah tercatat sebagai hari bersejarah dalam kehidupan mereka. Pada 1429 tahun lalu Umar bin Khattab, khalifah kedua telah mencanangkan 1 Muharram sebagai awal kalender kaum muslimin. Khalifah paling kreatif ini merenung dan memandang dengan seluruh ketajaman nurani dan pikirannya, hari-hari yang pernah dilalui bersama Rasulullah SAW. Dia juga melihat peristiwa kehadiran Nabi yang agung itu sejak beliau lahir ke muka Bumi. Pikiran dan permenungan sang pemimpin visioner itu diperlukan untuk menentukan kapan kalender kaum muslimin harus dimulai. Pilihan itu pada akhirnya jatuh pada momen sejarah kehidupan Nabi yang paling menentukan bagi masa depan Islam dan kaum muslimin yaitu Hijrah.

Khalifah Umar Bin Khattab agaknya mengingat dengan tingkat kesadaran yang utuh bagaimana Nabi yang mulia dan para pengikutnya yang setia berada dalam kondisi yang sangat kritis. Nabi telah kehilangan orang-orang yang mencintai dan dicintainya, orang yang melindungi dan membela perjuangannya. Istri tercintanya, Khadijah dan pamannya, Abu Thalib, telah meninggalkannya untuk selamanya. Sejarah kaum muslimin menyebutnya sebagai am al huzn” tahun duka nestapa. Sementara sikap kaum yang membencinya telah kehilangan cara untuk menghentikan dakwah profetik dan monoteistik. Beberapa cara dan strategi busuk telah dilakukan termasuk politik pengucilan dan pembiaran agar mati kelaparan. Satu-satunya cara yang tersisa adalah menghabisi nyawanya. “Muhammad harus mati”, teriak mereka.

Pada malam yang kelam mereka telah siap untuk mengakhiri hidup Muhammad. Dengan begitu, pikir mereka, akan berakhir pula riwayat kepercayaan baru yang merusak tradisi dan kepercayaan politeistik (syirik) mereka. Tetapi apa yang terjadi? Rencana mereka gagal total. Muhammad yang mereka cari telah pergi tanpa diketahui jejaknya. Allah Swt telah mengaturnya dengan amat cermat dan menggagalkannya. “Ingatlah (hai Muhammad), ketika orang-orang kafir Quraisy itu berkomplot membuat rencana terhadapmu, untuk menangkap atau membunuh atau mengusirmu. Mereka membuat rencana dan Allah adalah Perencana terbaik”. (Q.S. 8:30). Nabi didampingi seorang sahabat setianya, Abu Bakar al Shiddiq, hijrah ke Madinah menyusul para pengikut yang berangkat lebih dahulu.

Akhirnya dengan segala perjuangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sampailah nabi di Yastrib (Madinah) di mana ditempat inilah Islam akan tersebar ke seantero dunia. Ini merupakan goresan sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah saw dan umat Islam agar. Inilah yang dijadikan landasan mengapa hijrahnya Nabi Muhammad Saw dijadikan penanggalan tahun baru Islam, tak lain dan tak bukan adalah agar umat Islam mengingat perjuangan beliau dalam membangun masyarakat Madani dan Rabbani.

3. Makna Tahun Baru Islam 1429 H

Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw dan tentunya masih relevan dalam kehidupan kita saat ini. Spirit hijrah harus dijadikan modal dasar dalam mengawali tahun baru Islam, hal-hal yang patut kita renungkan terkait dengan makna tahun baru antara lain :

  1. Mari kita jadikan semangat hijrah sebagai landasan kehidupan kita untuk menyonsong tahun baru. Sprit tersebut antara lain keikhlasan, pengorbanan, dan perjuangan membela kebenaran.
  2. Tahun Baru Islam selayaknya diisi dengan bermuhasabah (menimbang dan menghitung perilaku), evaluasi diri dan introspeksi atas segala yang telah kita lakukan untuk menjadi panduan menapaki tahun yang lebih baik. Apa yang baik itulah yang perlu diteruskan dan ditingkatkan, yang buruk harus ditinggalkan dan segera minta maaf dan bertobat baik kaitannya dengan manusia maupun dengan Allah Swt.
  3. Berniat untuk meningkatkan amaliah kita. Sabda Rasulullah Saw “orang yang terbaik adalah orang yang hari ini lebih baik baik dibandingkan hari kemarin, dan orang yang merugi adalah orang yang hari ini lebih buruk dibandingkan hari kemarin”.
  4. Melakukan Perubahan (transformasi) dalam diri maupun masyarakat ke arah positif. Hal ini meliputipengetahuan, kepribadian, kualitas spiritualitas.
  5. Semangat tahun baru Islam harus dijadikan moment kebangkitan umat Islam dalam segala aspeknya. Hal ini sesuai dengan spirit hijrah di mana umat Islam ketika itu dapat meraih kemenangan. Demikianlah sebagaimana pernah diisyaratkan oleh Aisyah ra.:

كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ

Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.) Allah Swt. benar-benar telah memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah Swt. sesuka dia. (HR al-Bukhari).

III. PENUTUP

Demikianlah uraian singkat tentang makna tahun baru Islam 1429 H. Kita semua berharap dengan tahun baru Islam ini tentunya dengan semangat hijrah, umat Islam dapat bangkit dari keterpurukan menuju kejayaan, dari mental bodoh menjadi cerdas, dari mental buruk menjadi mental baik, dari pengemis menjadi pemberi, dari miskin menjadi kaya, dari mustahiq menjadi muzakki, dari koruptor menjadi pendonor, dan dari periba menjadi pemabrur. Insya Allah, kalau umat Islam di Indonesia ingin berubah ke arah yang lebih baik niscaya Allah akan mengubahnya, sehingga umat Islam akanberubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat. Allah Swt berfirman : ”Allah tidak akan mengubah sebuah kaum sehingga ia merubah diri mereka”. umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat.

Selasa, 18 Desember 2007

Selasa, 13 November 2007

RESENSI BUKU

Judul Buku :
EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN
Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan

Pengarang :
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto
Cepi Safruddin Abdul Jabar

Penerbit :
Bumi Aksara

ISBN : 979-526-956-9
Cetakan : Pertama
Jenis Kertas : HVS
Jumlah Halaman : 150 Halaman
Tahun Terbit : 2004

Buku evaluasi program pendidikan ini hadir ditengah minimnnya literatur yang menjelaskan tentang evaluasi program pendidikan di Indonesia. Dalam karyanya ini Prof. Dr. suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar menjabarkan secara jelas dan menarik dengan bahasa yang mudah dipahami tentang evaluasi program pendidikan, sehingga buku ini sangat cocok dan menarik untuk dibaca khususnya guru, praktisi, pemerhati dan ahli pendidikan.

Pembahasan dalam buku ini meliputi beberapa bab pembahasan yaitu :
  1. Konsep Evaluasi Program pendidikan dimana penulis hendak menyampaikan hakikat dari suatu evaluasi program pendidikan yaitu proses untuk menilai keberhasilan suatu program yang selanjutnya akan dievaluasi dan diambil keputusan selanjutnya.
  2. Model dan rancangan evaluasi program
  3. Perencanaan evaluasi program
  4. Pelaksanaan evaluasi program
  5. Analisis data dalam evaluasi program pendidikan
  6. Menyusun laporan evaluasi
  7. Tata tulis laporan evaluasi
Dalam buku ini penulis sebenarnya penulis ingin menyampaikan betapa pentingnya suatu evaluasi dalam program pendidikan dengan gaya bahasa yang singkat padat dan mudah dipahami. Selain itu dalam buku ini pun dilengkapi dengan gambar dan contoh-contoh yang dapat mendukung dalam menjelaskan evaluasi program pendidikan di sekolah maupun lembaga-lemabaga lainnya.

Oleh karena itu bagi seorang evaluator khususnya dan pembaca pada umumnya, buku ini harus menjadi rujukan wajib yang harus dimiliki dan tentunya pada akhirnya para pembaca dapat memahami secara komprehensif tentang evaluasi program pembelajaran.

Demikianlah resensi buku ini, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Senin, 05 November 2007

Syarat dan macam Evaluator

Syarat dan Macam Evaluator


Syarat Seorang Evaluator

  1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi yang didukung oleh teori akademik dan keterampilan praktik (pengalaman)
  2. Cermat, yaitu dapat melihat celah-celah secara detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, tidak mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan fakta yang sebenarnya, selanjutnya dapat mengambil kesimpulan saebagaimana diatur ketentuan yang harus diikuti.
  4. Sabar dan tekun, agar di dalam melaksanakan tugas dimulai dari membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrumen, mengumpulkan data dan menyusun laporan, tidak gegabah dan tergesa-gesa.
  5. Hati-hati dan bertanggung jawab, yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat berani menanggung resiko atas segala kesalahannya.
  6. Mempunyai visi dan misi dan program yang jelas
  7. Jujur dan amanah, maksudnya adalah seorang evaluator harus menyampaikan laporan hasil evaluasinya sesuai dengan kenyataan di lapangan dan tugas yang diembannya. seorang evaluator harus mempunyai kode etik dalam bertugas.
Perbedaan Evaluator Internal dan Eksternal.
  • Evaluator Internal adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksana program evaluasi. Evaluator internal lebih memahami betul tentang program yang akan dievaluasi dan tepat pada sasaran.
  • Evaluasi Eksternal adalah petugas evaluasi program yang berasal dari orang-orang luar dan tidak terkait dengan kebijakan dan implementasi program. Biasanya bersifat independent. Evaluator eksternal lebih membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengevaluasi suatu program dan cenderung kurang tepat sasaran, karena memang mereka bukan berlatar belakang dari orang-orang evaluasi program.

Referensi :

Prof. Dr. Suharsimi arikunto & Cepi Safruddin Abdul Jabar Evaluasi Program Pendidikan, Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan. Bumi Aksara 2004/
Akses Internet

Selasa, 30 Oktober 2007

konsorsium stanford

Betapa sulitnya mencari evaluasi dalam konsorsium stanford tapi pada menemukan salah satu teknik evaluasi yang banyak diterapkan di barat yaitu tes IQ
Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan pola asuh, hubungan anak dan orangtua, kebiasaan belajar, dan faktor lingkungan lainnya.

Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan intelegensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.
Menurut Indri Savitri, S. Psi, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat LPT UI, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan wujud dari proses berpikir rasional itu. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan.

Skor bukan harga mati
Howard Gardner, psikolog pendidikan asal Amerika yang terkenal dengan teori kecerdasan gandanya menyatakan, kecerdasan intelektual hanyalah salah satu dari 8 kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan ganda yang dimaksud Gardner adalah kecerdasan di bidang bahasa, berpikir logis atau matematis, musik, visual, dan gerak. “Sayangnya, alat ukur untuk kecerdasan ganda itu masih dikembangkan Gardner. Perlu waktu lama untuk bisa menerapkannya di negara yang berbeda kultur seperti Indonesia,” tutur Indri.

Awalnya, tes IQ diterapkan di masyarakat Barat karena adanya kebutuhan untuk seleksi. Anak-anak dengan kemampuan rata-rata, di bawah, dan di atas rata-rata, memerlukan penanganan yang berbeda. Tapi sekarang di sana skor IQ sudah tidak lagi dipakai karena mulai dikembangkan pendekatan-pendekatan lain yang melihat faktor kecerdasan secara menyeluruh.

Sayangnya, di Indonesia banyak lembaga pendidikan yang mewajibkan calon siswanya untuk tes IQ terlebih dahulu sebagai salah satu syarat penerimaan siswa baru. Ada sekolah yang menetapkan syarat penerimaan tes IQ minimal 120 skala Weschler. “ Bahkan, ada anak yang disarankan untuk sekolah di SLB karena skornya di bawah rata-rata, tanpa ada tahapan melihat latar belakang anak terlebih dahulu,” kata ibu satu anak ini menyayangkan.

Situasi saat tes
Menurut Indri, setidaknya tiga faktor yang berhubungan dengan tes IQ. Pertama, reliabilitas atau sejauh mana hasil tes itu dapat dipercaya. Skor IQ yang diperoleh akan sama walaupun seorang anak melakukannya pada kondisi yang berbeda. Kedua, validitas atau sejauh mana alat ini mampu mengukur apa yang hendak diukur. Jika tes itu mengukur kemampuan berbahasa, maka yang diukur adalah kemampuan anak dalam mengeluarkan pendapat, bukan mengukur kepercayaan diri. Ketiga, standarisasi, yaitu apakah alat yang dipakai sesuai dengan norma masyarakat setempat. Tiap masyarakat tentu mempunya norma berbeda satu sama lain.

Menurut Indri, saat ini banyak dilakukan tes psikologi secara massal, misalnya dalam satu ruang kelas. Padahal, tes yang dilakukan secara massal itu bisa menimbulkan banyak kemungkinan. Sehingga, seorang anak yang skor IQnya 140 belum tentu memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sebaliknya, anak dengan skor IQ 85 tidak berarti harus masuk SLB. Orangtua perlu kritis melihat skor tersebut.

Beda alat, beda yang diukur
Tes IQ yang sering dipakai di Indonesia adalah tes Binet dan Wecshler. Kedua tes ini sebenarnya merupakan alat yang sudah dikembangkan sejak lama. Psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, mulai merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (kemampuan di bawah rata-rata). Alat itu dinamakan tes Binet-Simon yang kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Ia menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terlalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Berdasarkan teori tersebut, dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsler, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.

Faktor genetik dan keturunan
Keturunan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tes IQ. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga adalah sekitar 0,5. Pada anak kembar, korelasinya sangat tinggi, yaitu 0,9. Sedangkan pada anak adopsi, sekitar 0,4-0,5 dengan orangtua kandung, dan 0,1-0,2 dengan orangtua angkatnya. IQ anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap berkorelasi sangat tinggi.

Intelegensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak ini sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Karenanya, faktor lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti.

Oleh karena itu, Indri menegaskan tentang pentingnya kejelasan tujuan dilakukannya tes IQ. Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar orangtua dan guru dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.

Berdasarkan pengalaman di klinik, Indri banyak menemukan kasus anak yang memiliki skor IQ bagus, tapi prestasi akademisnya rendah. Atau anak dengan skor IQ biasa saja, tapi cukup populer di sekolah karena memiliki rasa percaya diri untuk mengembangkan potensinya.

Sebagai sebuah alat ukur kecerdasan, tes IQ memang satu-satunya alat yang dapat dipakai sampai saat ini. Namun, untuk kepentingan pengoptimalan potensi anak, Indri lebih suka dengan istilah “evaluasi psikologis”. Karena dengan evaluasi psikologis, orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. Misalnya, anak yang kurang pemahaman bahasanya perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.

Untuk evaluasi psikologis, tidak hanya tes IQ yang dibutuhkan. Tes IQ tanpa wawancara sebenarnya tidak bisa berbicara. Karena skor tersebut berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungannya.

Senin, 01 Oktober 2007

Macam Macam Validitas

I. Pengertian Validitas (Validity)

Secara bahasa konsep validitas adalah kesahihan; kebenaran yang diperkuat oleh bukti atau data yang sesuai. secara istilah definisi validitas antara lain :
a. Kesesuaian antara definisi operasional dengan konsep yang mau diukur
b. Gay (1983:110) the most simplistic definition of validity is that it is the degree to which a test measured what it is supposed to measured.
c. Validitas dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam mem­beri­kan inter­pretasi terhadap hasil pengukurannya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa sebenarnya validitas adalah suatu proses untuk mengukur dan menggambarkan objek atau keadaan suatu aspek se­suai de­ngan fakta. Dalam konsep validitas setidaknya terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu relevans” dan accuracy. Relevansi menunjuk pada kemampuan instrumen untuk memerankan fungsi untuk apa instrumen tersebut dimaksudkan (what it is intended to measure). Accuracy menunjuk ketepatan instrumen untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang diukur secara tepat, yang berarti dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Kedudukan validitas sangat penting dalam suatu kegiatan termasuk dalam evaluasi pembelajaran karena menyangkut hasil pembelajaran dilandasi dan di­dukung oleh fakta-fakta yang representatif. apabila tidak ada validitas maka suatu proses maupun hasil pembelajaran tidak akan berjalan objektif melainkan subjektif hal ini tentu akan merugikan semua pihak terutama siswa.

II. Macam Macam Validitas (Validity)
Setelah meneliti tentang definisi validitas, menurut para ahli setidaknya ada empat macam validitas, yaitu :
a. Face Validity
Secara bahasa Face Validity dapat diartikan dengan kesahihan/kebenaran yang tampak. namun yang dimaksud di sini face validitas adalah pertimbangan subjektif mengenai validitas berdasarkan yang terlihat/tampak. Face validity digunakan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pembelajaran dapat menggambarkan konsep yang ingin diukur. secara pribadi saya mengalami kesulitan dalam memahami konsep ini, mungkin hal ini terkait dengan keterbatasan yang saya miliki.
b. Validitas konstruk (construct validity)
Validitas konstruk berhubungan dengan per­tanya­an: seberapa jauh instrumen yang kita susun mam­­pu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun dengan mendasarkan diri pada per­timbangan-pertimbangan rasional dan konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan. validitas konstruk menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain yang secara teoritis menggambarkan konsep yang diukur. Contoh: apakah skor depresi yang dikembangkan dapat membedakan orang depresi dengan orang tidak depresi.
c. Validitas Isi (conten Validity)

Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan atau melukiskan se­cara tepat mengenai domain perilaku yang akan di­ukur. Misalnya instrumen yang dibuat untuk meng­ukur aktivitas siswa dalam belajar, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan secara benar mengenai aktivitas siswa sebagaimana diuraikan dalam deskripsi kegitan siswa dalam belajar. Contoh lain lagi misalnya instrumen yang disiapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan de­ngan benar prestasi belajar siswa sesuai dengan stan­dar prestasi sesuai dengan materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Kalau pada instrumen kinerja pe­neliti melakukan analisis kinerja sebagai­mana yang ditetapkan dalam deskripsi tugas (job description), maka pada instrumen untuk mengukur prestasi belajar, kita harus melakukan analisis ma­teri pelajaran, mulai dari pembagian bab per bab, sam­pai pada uraian setiap pokok bahasan.
d.
Validitas kriterion (kriterion-related validity).
yaitu validitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu pengukuran sebagai indikator dari suatu tingkah laku atau sifat yang spesifik. Hal yang penting adalah keakuratan indikator. Criterion validity dinilai dengan membandingkan hasil satu pengukuran dengan pengukuran menurut gold standard, Contoh: intensi nyontek.