Selasa, 30 Oktober 2007

konsorsium stanford

Betapa sulitnya mencari evaluasi dalam konsorsium stanford tapi pada menemukan salah satu teknik evaluasi yang banyak diterapkan di barat yaitu tes IQ
Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan pola asuh, hubungan anak dan orangtua, kebiasaan belajar, dan faktor lingkungan lainnya.

Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan intelegensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.
Menurut Indri Savitri, S. Psi, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat LPT UI, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan wujud dari proses berpikir rasional itu. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan.

Skor bukan harga mati
Howard Gardner, psikolog pendidikan asal Amerika yang terkenal dengan teori kecerdasan gandanya menyatakan, kecerdasan intelektual hanyalah salah satu dari 8 kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan ganda yang dimaksud Gardner adalah kecerdasan di bidang bahasa, berpikir logis atau matematis, musik, visual, dan gerak. “Sayangnya, alat ukur untuk kecerdasan ganda itu masih dikembangkan Gardner. Perlu waktu lama untuk bisa menerapkannya di negara yang berbeda kultur seperti Indonesia,” tutur Indri.

Awalnya, tes IQ diterapkan di masyarakat Barat karena adanya kebutuhan untuk seleksi. Anak-anak dengan kemampuan rata-rata, di bawah, dan di atas rata-rata, memerlukan penanganan yang berbeda. Tapi sekarang di sana skor IQ sudah tidak lagi dipakai karena mulai dikembangkan pendekatan-pendekatan lain yang melihat faktor kecerdasan secara menyeluruh.

Sayangnya, di Indonesia banyak lembaga pendidikan yang mewajibkan calon siswanya untuk tes IQ terlebih dahulu sebagai salah satu syarat penerimaan siswa baru. Ada sekolah yang menetapkan syarat penerimaan tes IQ minimal 120 skala Weschler. “ Bahkan, ada anak yang disarankan untuk sekolah di SLB karena skornya di bawah rata-rata, tanpa ada tahapan melihat latar belakang anak terlebih dahulu,” kata ibu satu anak ini menyayangkan.

Situasi saat tes
Menurut Indri, setidaknya tiga faktor yang berhubungan dengan tes IQ. Pertama, reliabilitas atau sejauh mana hasil tes itu dapat dipercaya. Skor IQ yang diperoleh akan sama walaupun seorang anak melakukannya pada kondisi yang berbeda. Kedua, validitas atau sejauh mana alat ini mampu mengukur apa yang hendak diukur. Jika tes itu mengukur kemampuan berbahasa, maka yang diukur adalah kemampuan anak dalam mengeluarkan pendapat, bukan mengukur kepercayaan diri. Ketiga, standarisasi, yaitu apakah alat yang dipakai sesuai dengan norma masyarakat setempat. Tiap masyarakat tentu mempunya norma berbeda satu sama lain.

Menurut Indri, saat ini banyak dilakukan tes psikologi secara massal, misalnya dalam satu ruang kelas. Padahal, tes yang dilakukan secara massal itu bisa menimbulkan banyak kemungkinan. Sehingga, seorang anak yang skor IQnya 140 belum tentu memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sebaliknya, anak dengan skor IQ 85 tidak berarti harus masuk SLB. Orangtua perlu kritis melihat skor tersebut.

Beda alat, beda yang diukur
Tes IQ yang sering dipakai di Indonesia adalah tes Binet dan Wecshler. Kedua tes ini sebenarnya merupakan alat yang sudah dikembangkan sejak lama. Psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, mulai merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (kemampuan di bawah rata-rata). Alat itu dinamakan tes Binet-Simon yang kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Ia menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terlalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Berdasarkan teori tersebut, dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsler, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.

Faktor genetik dan keturunan
Keturunan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tes IQ. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga adalah sekitar 0,5. Pada anak kembar, korelasinya sangat tinggi, yaitu 0,9. Sedangkan pada anak adopsi, sekitar 0,4-0,5 dengan orangtua kandung, dan 0,1-0,2 dengan orangtua angkatnya. IQ anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap berkorelasi sangat tinggi.

Intelegensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak ini sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Karenanya, faktor lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti.

Oleh karena itu, Indri menegaskan tentang pentingnya kejelasan tujuan dilakukannya tes IQ. Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar orangtua dan guru dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.

Berdasarkan pengalaman di klinik, Indri banyak menemukan kasus anak yang memiliki skor IQ bagus, tapi prestasi akademisnya rendah. Atau anak dengan skor IQ biasa saja, tapi cukup populer di sekolah karena memiliki rasa percaya diri untuk mengembangkan potensinya.

Sebagai sebuah alat ukur kecerdasan, tes IQ memang satu-satunya alat yang dapat dipakai sampai saat ini. Namun, untuk kepentingan pengoptimalan potensi anak, Indri lebih suka dengan istilah “evaluasi psikologis”. Karena dengan evaluasi psikologis, orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. Misalnya, anak yang kurang pemahaman bahasanya perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.

Untuk evaluasi psikologis, tidak hanya tes IQ yang dibutuhkan. Tes IQ tanpa wawancara sebenarnya tidak bisa berbicara. Karena skor tersebut berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungannya.

Senin, 01 Oktober 2007

Macam Macam Validitas

I. Pengertian Validitas (Validity)

Secara bahasa konsep validitas adalah kesahihan; kebenaran yang diperkuat oleh bukti atau data yang sesuai. secara istilah definisi validitas antara lain :
a. Kesesuaian antara definisi operasional dengan konsep yang mau diukur
b. Gay (1983:110) the most simplistic definition of validity is that it is the degree to which a test measured what it is supposed to measured.
c. Validitas dapat dimaknai sebagai ketepatan dalam mem­beri­kan inter­pretasi terhadap hasil pengukurannya.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa sebenarnya validitas adalah suatu proses untuk mengukur dan menggambarkan objek atau keadaan suatu aspek se­suai de­ngan fakta. Dalam konsep validitas setidaknya terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu relevans” dan accuracy. Relevansi menunjuk pada kemampuan instrumen untuk memerankan fungsi untuk apa instrumen tersebut dimaksudkan (what it is intended to measure). Accuracy menunjuk ketepatan instrumen untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang diukur secara tepat, yang berarti dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Kedudukan validitas sangat penting dalam suatu kegiatan termasuk dalam evaluasi pembelajaran karena menyangkut hasil pembelajaran dilandasi dan di­dukung oleh fakta-fakta yang representatif. apabila tidak ada validitas maka suatu proses maupun hasil pembelajaran tidak akan berjalan objektif melainkan subjektif hal ini tentu akan merugikan semua pihak terutama siswa.

II. Macam Macam Validitas (Validity)
Setelah meneliti tentang definisi validitas, menurut para ahli setidaknya ada empat macam validitas, yaitu :
a. Face Validity
Secara bahasa Face Validity dapat diartikan dengan kesahihan/kebenaran yang tampak. namun yang dimaksud di sini face validitas adalah pertimbangan subjektif mengenai validitas berdasarkan yang terlihat/tampak. Face validity digunakan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pembelajaran dapat menggambarkan konsep yang ingin diukur. secara pribadi saya mengalami kesulitan dalam memahami konsep ini, mungkin hal ini terkait dengan keterbatasan yang saya miliki.
b. Validitas konstruk (construct validity)
Validitas konstruk berhubungan dengan per­tanya­an: seberapa jauh instrumen yang kita susun mam­­pu menghasilkan butir-butir pertanyaan yang telah dilandasi oleh konsep teoritik tertentu. Validitas konstruk disusun dengan mendasarkan diri pada per­timbangan-pertimbangan rasional dan konseptual yang didukung oleh teori yang sudah mapan. validitas konstruk menggambarkan seberapa jauh hasil satu pengukuran sesuai dengan hasil pengukuran lain yang secara teoritis menggambarkan konsep yang diukur. Contoh: apakah skor depresi yang dikembangkan dapat membedakan orang depresi dengan orang tidak depresi.
c. Validitas Isi (conten Validity)

Validitas isi berhubungan dengan kemampuan instrumen untuk menggambarkan atau melukiskan se­cara tepat mengenai domain perilaku yang akan di­ukur. Misalnya instrumen yang dibuat untuk meng­ukur aktivitas siswa dalam belajar, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan secara benar mengenai aktivitas siswa sebagaimana diuraikan dalam deskripsi kegitan siswa dalam belajar. Contoh lain lagi misalnya instrumen yang disiapkan untuk mengukur prestasi belajar siswa, maka instrumen tersebut harus dapat melukiskan de­ngan benar prestasi belajar siswa sesuai dengan stan­dar prestasi sesuai dengan materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Kalau pada instrumen kinerja pe­neliti melakukan analisis kinerja sebagai­mana yang ditetapkan dalam deskripsi tugas (job description), maka pada instrumen untuk mengukur prestasi belajar, kita harus melakukan analisis ma­teri pelajaran, mulai dari pembagian bab per bab, sam­pai pada uraian setiap pokok bahasan.
d.
Validitas kriterion (kriterion-related validity).
yaitu validitas yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu pengukuran sebagai indikator dari suatu tingkah laku atau sifat yang spesifik. Hal yang penting adalah keakuratan indikator. Criterion validity dinilai dengan membandingkan hasil satu pengukuran dengan pengukuran menurut gold standard, Contoh: intensi nyontek.